broken image

PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Apa yang terjadi dengan ekonomi Indonesia saat ini? Setelah didera perlambatan konsumsi masyarakat, ekonomi RI kembali dihantam liarnya pergerakan dolar AS, ditambah lagi defisit neraca perdagangan RI semakin melebar.

Beberapa pihak termasuk para ekonom memandang ada yang salah dengan ekonomi dan patut diperhatikan. Namun pemerintah selalu mengatakan bahwa kondisi fundamental ekonomi RI masih baik.

Padahal rupiah sudah anjlok cukup dalam. Bayangkan dari awal tahun ini dolar AS masih tenang di level sekitar Rp 13.500, tiba-tiba menguat tiada henti hingga kemarin dolar AS tembus Rp 14.200.

Ekonom menyebut kondisi perekonomian saat ini sudah pada tahap "lampu kuning". Layaknya rambu lalu lintas itu artinya harus berhati-hati.

Lalu seperti apa kondisi sebenarnya? Seberapa parahnya ekonomi RI dan apa bedanya dengan krisis-krisis sebelumnya?

Jika ditanya bagaimana kondisi ekonomi RI saat ini, Ekonom sekaligus Direktur Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal mengatakan sudah lampu kuning. Masih jauh memang jika samakan dengan kondisi ekonomi RI saat krisis moneter (krismon) pada 1998.

"Kalau bicara secara makro sebetulnya kalau dikatakan sebagai krisis ini belum. (Tapi) sudah lampu kuning," tuturnya

Gejolak ekonomi RI mulai terasa di tahun lalu, masyarakat terasa mengerem konsumsinya. Buktinya banyak perusahaan ritel yang mengurangi jumlah gerainya bahkan ada yang guling tikar.

Bukti pun kembali diperkuat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa tingkat konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2017 di level 4,95%. Angka itu melambat jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang tumbuh 5,01%.

Namun sayangnya kontribusi konsumsi rumah tangga RI sangat besar terhadap pertumbuhan ekono, sekitar lebih dari 50%. Sehingga ketika konsumsi rumah tangga melambat dampaknya sangat terasa terhadap kelancaran aktifitas ekonomi hingga ke hulu.

Belum selesai permasalahan masyarakat yang lebih irit, ekonomi RI kembali dihantam dari sisi nilai tukar. Dolar AS tiba-tiba mengamuk. Bayangkan saja dari awal tahun dolar masih tenang di sekitar Rp 13.500, tiba-tiba menguat hingga posisi Rp 14.200.

Penyebabnya sistemik, sumbunya dari negeri adidaya Paman Sam. Bank Sentral AS The Fed akan menaikan suku bunga. Alhasil banyak dana asing yang keluar dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Faisal mengatakan, dampak dari pelemahan rupiah yang akan terasa cukup besar. Pertama bisa kembali menghantam konsumsi rumah tangga, sebab akan banyak produk-produk impor ataupun berbasis bahan baku impor yang akan naik harganya.

"Konsumsi dalam negeri kita banyak bergantung dari luar. Kita banyak impor pangan hingga minyak. Jadi dampaknya juga ke harga BBM dan tarif listrik. Ini yang menyebabkan mempengaruhi daya beli rumah tangga," terangnya.

Sementara pengaruhnya ke industri akan menurunkan daya saing. Sebab banyak dari insutri dalam negeri meski yang berorientasi ekspor bahan bakunya masih bergantung impor. Sehingga biaya prodksi akan meningkat. Imbasnya daya saing industri nasional di tingkat nasional maupun internasional menurun.

Hantaman yang ketika adalah melebarnya defisit neraca perdagangan. BPS juga mencatat neraca perdagangan RI pada April 2018 mengalami defisit US$ 1,63 miliar. Ekspor tercatat US$ 14,47 miliar, sementara impornya US$ 16,09 miliar.

Bank Indonesia (BI) bahkan memprediksi tahun ini defisit transaksi berjalan diperkirakan berada di US$ 23 miliar atau melebar menjadi 2,3% dari produk domestik bruto (PDB).

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dolar AS berada di kisaran Rp 2.000-2.500 karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Orde Baru kala itu tidak mau tahu, dolar AS harus bertahan di level itu.
Namun karena kebijakan itu cadangan devisa RI terus tergerus untun menjaga kurs. Akhirnya pemerintah membuka rupiah menjadi kurs mengambang. Akhirnya dolar AS mulai merangkak naik ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998.

Pelemahan rupiah diperparah ketika kondisi keamanan dan politik Indonesia bergejolak. Pada Mei 1998, kerusuhan terjadi dimana-mana menuntut tunbangnya pemerintahan Orde Baru.

Sampai akhirnya rupiah jatuh tak berdaya saat dolar AS mencapai level Rp 16.650. Disitulah titik puncak krisis moneter. Banyak pihak swasta yang tak mampu membayar utang luar negerinya.

Perekonomian pun kacau balau. Ekonomi Indonesia tidak tumbuh bahkan -13,1%, harga-harga pangan melambung tinggi, inflasi pun meroket hingga 82,4%. Depresiasi rupiah mencapai 197%.

Kerusuhan terjadi dimana-mana yang meminya Suharto lengser. Kepercayaan masyarakat, investor dan dunia usaha pada pemerintah dan ekonomi RI luntur. Banyak terjadi penarikan dana besar-besaran yang membuat perbankan collapse.

Bank Indonesia (BI) pun terpaksa memberikan bantuan likuiditas Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Meskipun ujung-ujungnya banyak dana yang diselewengkan. Rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan saat itu juga mencapai 30%.

Total utang luar negeri pemerintah dan swasta saat itu mencapai US$ 150,8 miliar. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pun mencapai 100%.

Lanjut kesiklus berikutnya di 2008. Krisis saat itu berbeda yakni krisis finansial global yang terjadi dibanyak negara. Indonesia pun terkena imbasnya.

Krisis saat itu diawali pada 2007, saat itu persediaan rumah di AS untuk masyarakat menengah ke bawah membeludak. Namun banyak dari nasabah perumahan kelas bawah yang tak mampu membayar utangnya.

Alhasil institusi keuangan di AS banyak yang tumbang. Pengaruhnya kebanyak negara. Indonesia terkena imbasnya. Rupiah jatuh ke level Rp 8.000 hingga ke level Rp 12.650. Depresiasi rupiah mencapai 34,86%.

Meski begitu ekonomi Indonesia masih tumbuh meski turun ke level 4,12%. Namun inflasi melonjak hingga 12,14%, total utang pemerintah dan swasta mencapai US$ 155,8 miliar, rasio utang pemerintah terhadap PDB 27,4%.

Sementara cadangan devisa mencapai US$ 80,2 miliar. Rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa mencapi 3,1 kali.

Sementara tahun ini rupiah sudah melemah 4,64% dari awal tahun (year to date). Tercatat dolar AS menguat dari posisi awal tahun sekitar Rp 13.500 hingga menembus Rp 14.200.

Lalu menurut Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) menyebutkan jumlah utang luar negeri (ULN) secara total saat ini tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp 14.000).

Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2018 mencapai 5,06%. Sedangkan cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2018 tercatat US$ 124,9 miliar. Angka itu turun sekitar US$ 1,1 miliar dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2018 sebesar US$ 126,0 miliar.

Sementara inflasi per April 2018 sebesar 0,10%, tnflasi tahun kalender sebesar 1,09% dan inflasi tahun ke tahun sebesar Rp 3,41%.

Perekonomian Republik Indonesia (RI) disebut sudah lampu kuning. Meski masih jauh dari kondisi krisis, kondisi ini patut diwaspadai.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal menjelaskan, kondisi krisis moneter bisa terjadi jika ekonomi tidak tumbuh bahkan minus seperti yang terjadi saat 1998. Ekononi Indonesia saat itu -13,1%.

"Krisis ekonomi terjadi jika ekonomi tumbuh minus selama 3 kuartal berturut-turut," tuturnya.

Meski begitu, ekonomi RI patut diperhatikan. Faisal berpendapat bahwa bahwa jika saja ada pemantik bukan tidak mungkin ekonomi RI seketika akan terjadi krisis. Ada 2 pemantik yang dikhawatirkannya, yakni adanya bank sistemik yang collapse dan ketidakstabilan politik dan keamanan.

"Jika ada bank sistemik collapse dampaknya seperti kasus Bank Century menjalar kemana-mana. Kalau pantauan saya yang sistemik belum ada yang seperti Bank Century," imbuhnya.

Nah yang paling besar dikhawatirkan adanya konflik sosial politik. Apalagi sudah mendekati tahun politik 2019. Dia juga khawatir kasus teror bom kembali terjadi dan meluas.

Jika itu terjadi maka kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap ekonomi bisa luntur. Penarikan dana besar-besaran (rush money) dari perbankan bisa terulang seperti saat krisis ekonomi 1998.

"Kalau banyak yang tarik dana bisa collapse masal," tegasnya.