PT SOLID GOLD BERJANGKA - Di antara kebingungan muslimah muda di Indonesia adalah keinginan untuk sekolah setinggi-tingginya versus anggapan yang masih melekat bahwa kodrat perempuan itu menjadi ibu rumah tangga. Dan, menjadi ibu rumah tangga kadang dipersepsikan sebagai sebuah "profesi" yang tidak membutuhkan gelar-gelar akademis.
Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap ketika seorang siswi SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, seorang penulis binaan penerbit besar di Indonesia, bertanya pada saya dalam diskusi tentang mencetak generasi emas Indonesia yang inklusif. "Saya," katanya, "Pengen banget sekolah tinggi tapi kata orang itu nggak boleh, jadi saya takut masuk neraka."
Menimbang bahwa sekolah tempat dia belajar mendorong para siswa untuk sekolah setinggi-tingginya, juga menawarkan perlakuan yang sama terhadap para siswa apapun jenis kelaminnya, kegelisahan dia akan asumsi bahwa "(perempuan yang) sekolah tinggi hanya akan membuat dia masuk neraka" boleh jadi berangkat dari opini dan/atau doktrin yang ia dengar, cerap, dan rasakan, entah itu di lingkungan pergaulan, keluarga, atau media sosial.
Sepertinya, opini dan/atau doktrin tersebut memang senantiasa ada di luar sana, dan boleh jadi berkait dengan geliat konservativisme Islam dan/atau sebatas sisa budaya patriarkal di masyarakat kita. Dalam menjawab kegelisahan dia, saya mula-mula menjabarkan bahwa perintah menuntut ilmu itu pada prinsipnya tidak eksklusif hanya bagi laki-laki, tapi bagi muslimin dan muslimat.
Itu saja sudah merobohkan larangan sekolah tinggi bagi perempuan. Apalagi jika kita mempertimbangkan perintah belajar ini sebagai dari lahir hingga mati. Tentu, memang, belajar tidak sebatas pergi bersekolah ke perguruan tinggi. Tapi, tidak dapat dipungkiri bahwa bersekolah ke perguruan tinggi secara konseptual mampu mewadahi dan mengakselerasi proses belajar tersebut.
Jika kemudian ada bantahan bahwa larangan sekolah tinggi ini berkaitan dengan perlindungan perempuan dari kejahatan, tentu kita bisa berargumen bahwa 'mengurung' perempuan bukan jawaban. Setiap dari kita, apapun jenis kelamin dan agamanya, punya kewajiban mengontrol kebinatangan kita demi memanifestasikan sisi kemalaikatan kita, terus-menerus, dari waktu ke waktu.
Selain itu, kaum perempuan sebagai kaum ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Semakin tinggi keilmuwan kaum perempuan, secara ideal-konseptual memungkinkannya untuk menjadi madrasah terbaik bagi anak-anak. Ketika larangan bersekolah tinggi ini kemudian 'dilengkapi' keharusan menikah dini, maka efeknya tambah banyak.
Menurut Prof. Muhadjir Darwin, pernikahan dini cenderung berdampak dalam 'melestarikan' kemiskinan, kekurangterjagaan kesehatan bayi, dan kerentanan KDRT. Itu sebabnya dalam Islam, hukum menikah bisa wajib, mubah, bahkan haram —kemampuan ekonomi dan kematangan psikologis juga harus dipertimbangkan.
Yang saya khawatirkan dari pelarangan perempuan untuk sekolah sebaik mungkin, terlepas dari apapun pilihan sekolahnya, adalah upaya pendomestikasian, sehingga kemudian perempuan diposisikan hanya sebagai objek di ruang-ruang privat di dalam rumah tangga. Apalagi jika kemudian larangan sekolah tinggi dibarengi juga dengan larangan untuk bekerja, berwirausaha, dan berkarier.
Ketika kaum perempuan sudah mampu menguji konstruksi opini, normalitas domestikasi perempuan akan dengan sendirinya tergugat. Efek domino macam demikian pada akhirnya membantu memuluskan cita-cita kesetaraan gender dalam Islam.
Baca Juga Artikel Keren & Terupdate Kami Lainnya Di :
Sgoldberjangka.com blogspot.com wordpress.com weebly.com blogdetik.com
wixsie.com jigsy.com spruz.com bravesite.com