broken image

PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Setelah berkali-kali hanya berkomunikasi lewat para perantara, akhirnya dua pihak itu bertemu di satu hotel di kota Wina, Austria, pada Juni 2017 lalu. Satu pihak adalah Abdullah al-Malihi, orang kepercayaan Pangeran Turki al-Faisal, mantan Kepala Al Mukhabarat Al 'Ammah, dinas intelijen Arab Saudi, dan Nasser al-Qahtani, pejabat senior di Mukhabarat.
Di pihak seberang adalah perwakilan dari NSO Group Technologies, perusahaan asal Israel.

Dalam pertemuan dua pihak dari dua negara yang tak punya hubungan diplomatik ini, Abdullah al-Malihi menyampaikan bahwa mereka sedang mencari perangkat untuk memata-matai orang-orang yang bisa ‘membahayakan’ kerajaan Saudi.

NSO punya barang yang dikehendaki Kerajaan Saudi. Sebelum mulai ngecapmempromosikan produknya, perwakilan NSO meminta Nasser membeli ponsel iPhone baru dari mal dekat hotel. Yang perwakilan NSO minta hanya nomer telepon di ponsel itu. Dan hanya dalam beberapa menit, tanpa perlu memegang ponsel itu, tanpa Nasser mengklik apa pun, kendali iPhone baru itu sudah diambil alih oleh perwakilan NSO.

Dari laptopnya, perwakilan NSO bisa menghidupkan kamera, mengambil foto peserta rapat, dan merekam suara lewat iPhone milik Nasser. Pameran kehebatan spyware Pegasus 3 milik NSO dalam membobol dan membajak iPhone itu rupanya membuat Abdullah dan Nasser terkesan. Abdullah al-Malihi mengundang W, orang yang biasa mewakili NSO, untuk datang ke Riyadh dan mempertunjukkan kemampuan Pegasus 3 kepada keluarga Kerajaan Arab Saudi.

Dalam pertemuan di Riyadh pada pertengahan Juli 2017 itu lah, disepakati transaksi jual beli Pegasus 3 antara pemerintah Arab Saudi dengan NSO senilai US$ 55 juta atau sekitar Rp 796 miliar. “Saya sepakat dengan W bahwa jatah komisi untukku lima persen dari nilai transaksi,” ujar salah seorang pengusaha dari Eropa yang jadi ‘calo’ transaksi Pegasus 3 dikutip Haaretz, kemarin.

Pegasus 3 ini merupakan pengembangan dari spyware Pegasus yang diduga dipakai oleh pemerintah Uni Emirat Arab untuk menyadap iPhone milik aktivis hak asasi manusia, Ahmed Mansoor, pada Agustus 2016. Dua hari berturut-turut pada 10 dan 11 Agustus 2016, Mansoor mendapat kiriman pesan pendek di ponsel iPhone 6 miliknya. Isi tautan pada dua pesan itu sama-sama ‘menggoda’, menjanjikan daftar tahanan yang mengalami penyiksaan di penjara Emirat Arab.

Untung lah Mansoor waspada dan tak tergoda untuk mengklik tautan itu. Sudah dua kali dia dimata-matai dengan spyware. Alih-alih membuka tautan, Mansoor malah mengirimkan pesan itu ke CitizenLab di Munk School of Global Affairs and Public Policy, University of Toronto, Kanada. Bekerja sama dengan perusahaan keamanan jaringan Lookout Security, CitizenLab menelusuri tautan di iPhone milik Mansoor. Hasilnya, mengarah pada spyware Pegasus yang dibuat oleh NSO.

Pegasus ini lah yang diduga dipakai intelijen Arab Saudi untuk menguping dan melacak jejak wartawan Jamal Khashoggi dan teman-temannya. Di antara teman Khashoggi yang disadap dengan Pegasus adalah komika Ghanem Almasarir dan aktivis Omar Abdulaziz. Ghanem tinggal di London, sementara Omar sudah bertahun-tahun meninggalkan Saudi dan tinggal di Montreal, Kanada.

“Aku tidak terkejut,” kata Omar kepada Vice, beberapa hari lalu. Dia memang sering mengkritik pemerintah Saudi lewat sosial media. Tapi dia sedikit cemas kerabat dan teman-temannya berada dalam bahaya. Wajar saja dia merasa was-was. Sahabatnya, Jamal Khashoggi, mati dibunuh dalam kompleks Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki, dua bulan lalu. Sekarang Omar merasa bersalah sebab mungkin saja percakapannya dengan Khashoggi ada yang menguping. “Mungkin mereka menguping percakapanku dengan Jamal....Aku merasa bersalah. Aku tak mau ada yang terluka gara-gara percakapan itu.”

Menurut penelusuran CitizenLab sepanjang Agustus 2016 hingga Agustus 2018, jejak Pegasus terlacak di 45 negara. Di antaranya di Singapura, Thailand, India, Pakistan, Brazil, dan Arab Saudi. Ada 36 operator Pegasus yang teridentifikasi CitizenLab.

“Kami dianggap oleh banyak kalangan sebagai yang terbaik,” kata Eran Lerman, purnawirawan Kolonel dari Pasukan Pertahanan Israel dan mantan pejabat di dinas intelijen militer Israel, kepada Vice. Kolonel Eran tak asal membual. Kini Israel menjadi salah satu negara paling maju dalam hal perang siber dan sadap-menyadap, mata-mematai, tak kalah dengan Amerika Serikat, Inggris atau Jerman.

Di Israel, ada lebih dari 400 perusahaan keamanan siber. Dan 27 perusahaan di antaranya, menurut penelusuran Privacy International, punya spesialisasi dalam perang siber dan sadap-menyadap. Belum pula dihitung perusahaan-perusahaan yang didirikan warga Israel dan berkantor pusat di negara lain seperti Circles yang berbasis di Siprus, 3i-Mind yang berkantor di Swiss, Silver Bullet yang bermarkas di Inggris, dan Narus, perusahaan keamanan siber yang diakuisisi oleh Boeing pada 2010.

Perusahaan-perusahaan itu, seperti NSO Group, Elbit System, Elka, Ability, Cellebrite, MER Group, dan Septier, menjual rupa-rupa produk dan jasa, mulai dari perangkat untuk memata-matai jaringan telekomunikasi, sampai spyware untuk menyadap telepon seseorang. Bisnis perangkat mata-mata dan perang siber ini memang sedap. Nilainya terus menggelembung. Tahun lalu, meski transaksi alat mata-mata ini diatur ketat oleh setiap negara, menurut taksiran majalah Forbes, nilainya sudah melampaui US$ 5 miliar, lebih dari Rp 73 triliun. Perusahaan yang umurnya belum lima tahun seperti NSO, nilainya bisa lebih dari US$ 100 juta, sekitar Rp 1,5 triliun.

Dulu, yang namanya perang, selalu tampak terang benderang di depan mata. Senjata yang dipakai maupun kerusakannya jelas kelihatan. Tapi kini, yang namanya perang siber, barangkali hanya segelintir orang yang benar-benar tahu. Kerusakannya, seperti yang disebabkan oleh virus Stuxnet beberapa tahun lalu, tak semua orang bisa melihatnya.

Konon, virus Stuxnet yang mengacaukan program pengembangan nuklir Iran itu, dibikin oleh National Security Agency (NSA) bersama Unit 8200. NSA merupakan ‘telinganya’ intelijen Amerika Serikat, bertugas memantau segala telekomunikasi terkait keamanan negara. Unit 8200 alias Yehida Shmoneh-Matayim, tugasnya mirip dengan NSA. Unit ini ada di bawah komando Dinas Intelijen Militer Israel, Aman.
Unit 8200 ini lah ‘kawah candradimuka’ bagi para insinyur pembuat spyware dan perangkat mata-mata Israel. “Seperti kata ibuku, ‘Unit 8200 adalah perusahaan teknologi terbesar di Israel’,” ujar seorang alumni Unit 8200 kepada Vice. Kecuali dalam hal skala, menurut Peter Roberts, analis di Royal United Services Institute, dikutip Financial Times, Unit 8200 punya kemampuan setara dengan NSA.

Beberapa insinyur yang bekerja di NSO juga merupakan alumni Unit 8200. Di Unit 8200, mereka dilatih bagaimana membobol jaringan telekomunikasi, menyadap tanpa meninggalkan jejak. Kemampuan itu lah yang jadi bekal utama para alumni Unit 8200 (ada lebih dari 10.000 alumni) mendirikan perusahaan keamanan siber. Gil Shwed, pendiri dan bos Check Point Software Technologies, salah satu perusahaan keamanan siber terbesar di Israel, juga Nir Lempert, bos MER Group, misalnya, juga merupakan alumni Unit 8200.
Setiap tahun, ada banyak pemuda dengan energi yang meluap, lapar, dengan kemampuan hebat, direkrut Unit 8200
“Setiap tahun, ada banyak pemuda dengan energi yang meluap, lapar, dengan kemampuan hebat, direkrut Unit 8200,” kata seorang pegawai Unit 8200. Mereka, menurut Lior Div, pendiri Cybereason dan alumni Unit 8200, dipilih dari lulusan-lulusan sekolah terbaik. “Kalian tumbuh besar bersama motto dari Unit bahwa tak ada yang tak mungkin.”

Beberapa tahun kemudian, mereka ‘lulus’ dari Unit 8200 dan tawaran pekerjaan berdatangan. “Kalian tinggal tulis kata Unit 8200 di surat lamaran dan keajaiban akan datang sendiri,” kata Amit Meyer, alumni Unit 8200 kepada The Intercept. Amit memilih jenis pekerjaan yang kurang lazim di antara para alumni Unit 8200, menjadi wartawan.

Gaji di bisnis perangkat mata-mata ini memang gurih benar. Seorang alumni Unit 8200, Yaniv, bukan nama sebenarnya, dapat tawaran gaji puluhan ribu dolar atau ratusan juta rupiah per bulan dari satu perusahaan yang berkantor di Siprus. “Tawaran paling besar yang pernah aku terima adalah mengajar soal keamanan siber di Singapura. Mereka menjanjikan gaji ratusan ribu shekel, lebih dari Rp 500 juta, per bulan....Tapi aku menolak karena ingin tinggal dekat dengan keluarga di Israel,” kata Yaniv kepada Haaretz. Kini gajinya 36.000 shekel, atau Rp 140 juta per bulan.

Sebagian di antara teman-teman mereka memilih bikin perusahaan sendiri. Makanya, di Israel, setiap tahun lahir perusahaan-perusahaan teknologi baru dari para alumni Unit 8200. “Jika kalian amati perusahaan teknologi di Israel, sebagian besar didorong atau didirikan oleh para alumni dinas intelijen, terutama Unit 8200,” kata Yonatan Striem-Amit, alumni Unit 8200 dan Direktur Teknologi di Cybereason, dikutip Miami Herald. Cybereason bermarkas di Boston, Amerika Serikat, tapi juga punya kantor di Tel Aviv, Israel.