SOLID BERJANGKA | Dari Rokok Ben Affleck ke Tata Krama Pancasila\
 

broken image

SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Atas jasa Pein Akatsuki, baru saja saya selesai menonton Argo, film terbaik Academy Awards 2013. Di film yang dibintangi sekaligus disutradarai Ben Affleck itu ada satu adegan yang tanpa sadar membuat saya kaget-kaget sebal. Bukan hal besar, cuma pemandangan remeh berupa orang merokok.

Ceritanya, ketika agen CIA Toni Mendez berhasil melarikan enam diplomat Amerika yang sedang diburu pemerintah revolusioner Iran, dia duduk di dalam kabin pesawat Swiss Air. Wajahnya tampak lega. Lalu, sebagai perayaan kelegaannya, dia...menyalakan dan mengisap rokoknya! Di dalam pesawat lho ini! Apa-apaan, coba?

Dan, bukan cuma Si Toni saja. Beberapa orang yang duduk di belakangnya pun tampak asyik mengobrol sambil kebal-kebul dengan lintingan tembakau mereka.

BACA JUGA : Legalitas PT Solidgold Berjangka

Ini kurang ajar sekali. Kenapa para penumpang di sekelilingnya tidak protes beramai-ramai, lalu memanggil petugas keamanan, sebagaimana dilakukan kepada seorang penumpang bebal di pesawat Citilink di Bandara Halim beberapa bulan lalu? Kenapa? Setidak peduli itukah mereka? Ini ngawur!

Untung cuma beberapa detik saja saya bertahan dalam kebodohan. Sebab, langsung saya tersadar bahwa adegan tersebut merupakan gambaran situasi wajar pada zaman tersebut. Peristiwa pelarian keenam diplomat itu terjadi pada beberapa bulan selepas pecahnya Revolusi Iran, artinya itu 40 tahun silam. Pada masa itu, orang bebas merokok di mana-mana, di dalam ruangan tertutup, bahkan di kabin pesawat. Biasa saja.

Barulah, sejak kampanye antirokok gencar dilakukan, perilaku-perilaku merokok yang mengganggu kepentingan orang banyak jadi terlarang. Bahkan, lambat laun ia muncul dalam kesadaran komunal sebagai sesuatu yang tabu, yang tidak sopan dan tidak pantas. Itulah kenapa saya yang hidup pada zaman ini melihat perilaku merokok di kabin pesawat dalam perasaan penuh keterkejutan. Ya, sebab saya sedang memandang sesuatu dengan kacamata norma dari masa yang berbeda.

Saya bukan seorang aktivis antirokok, bahkan saya pun seorang perokok. Namun, memang bukan rokoknya yang sedang saya bahas, melainkan tentang bagaimana ukuran-ukuran tabu bergeser dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Apa yang dulu normal-normal saja dan diterima publik sebagai sebuah kewajaran, bisa jadi sekarang menjadi hal yang memalukan dan tak layak ditayangkan.

Maka, film Argo sah-sah saja menayangkan adegan orang merokok di ruang tertutup tanpa di-blur. Ben Affleck tidak senaif Majalah Tempo, misalnya, yang dalam sampul mereka pernah terlalu memaksa diri dengan mengganti rokok di potret legendaris penyair Chairil Anwar dengan sebatang korek api hahaha!

***

Perasaan kaget melihat adegan Toni Mendez merokok sembarangan tadi tak urung menyeret pikiran saya kepada peristiwa beberapa hari lalu, ketika orang-orang riuh membahas Bu Maimon Herawati, Blackpink, dan Shopee.

Anda semua tentu sudah mendengar ceritanya. Bu Maimon menggugat lewat petisi online, kenapa iklan Shopee yang berisi penampilan Blackpink dan rok mini mereka itu ditayangkan pada jam-jam ketika televisi ditonton anak-anak. Tak perlu menunggu lama, Komisi Penyiaran Indonesia pun melayangkan peringatan keras kepada stasiun-stasiun televisi, sehingga jogetan girlband Korea itu tak lagi muncul seiring dengan lagu "hei Tayo hei Tayo" dan lain-lain.

Respons penolakan maupun dukungan atas semua itu bermunculan dengan gencar. Secara umum, para penentang petisi Bu Maimon mendasarkan penolakan mereka pada kecurigaan atas model-model islamisasi yang gencar terjadi belakangan ini. Tentu kecurigaan semacam itu tampak reaktif dan agak kurang beralasan, jika tuntutan Bu Maimon dicermati dengan lebih teliti. Sebab, yang sedang disuarakan adalah keresahan kenapa iklan demikian ditayangkan pada program anak-anak. Bahkan, Bu Maimon sendiri pun dalam petisinya tidak menyebut-nyebut ajaran Islam, melainkan "nilai Pancasila yang beradab".

Persoalannya, sudah cukup jelaskah konsep tata krama dalam koridor nilai Pancasila yang beradab itu?

Akan jauh lebih mudah dipahami andai Bu Maimon dan para pendukungnya menyuarakan standar tata krama keislaman, karena jelas aturan tekstualnya. Namun, ketika sudah bicara tentang Indonesia, perkara yang kita hadapi tidak semudah menjalankan teks undang-undang sekalipun. Kita harus bicara tentang nilai yang bisa dianut bersama-sama oleh segenap warga negara, muslim maupun bukan, Jawa maupun luar Jawa.


Jadi, kembali lagi, seperti apakah standar kesopanan dalam berpakaian yang bisa diterima oleh segenap rakyat Indonesia? Betulkah ia bisa ditafsirkan sesederhana tidak membiarkan visualisasi paha, dada, dan bokong perempuan?

"Sekarang ini orang pada ribet banget. Lihat ini KMS zaman Orde Baru. Nih, di masa itu saja orang nggak reseh soal aurat!"

Saya menyimak beberapa unggahan netizen yang pinter-pinter itu. Menyusul kericuhan iklan Blackpink, mereka membagi gambar selembar KMS, Kartu Menuju Sehat. Itu kartu lama yang dibagi kepada ibu-ibu pada zaman Orde Baru. Di halaman terdepannya, tampak foto seorang ibu muda berkebaya tengah menyusui bayinya, lengkap dengan kalimat slogan besar-besar: "Air Susu Ibu Makanan Bayi Terbaik". Yang menarik, sang ibu berkebaya itu membuka dadanya, sehingga tampaklah 97% tampilan payudara kirinya!

Perasaan saya ketika pertama kali melihat gambar itu kira-kira ya mirip dengan saat saya melihat Toni Mendez merokok di dalam kabin pesawat. Saya kaget, kok bisa pada masa itu dibiarkan saja gambar seperti itu? Itu bukan gambar iklan di kalender-kalender biru, bukan selipan foto di tengah buku TTS yang dijajakan diam-diam di bus-bus AKAP, bukan pula ilustrasi karya sastra Enny Arrow. Itu lembar pantauan resmi yang dikeluarkan negara, untuk mendukung kelancaran program Posyandu, dan tentu saja telah lolos dari screening para punggawa penjaga Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Artinya, foto payudara seterbuka itu pasti secara sah dan meyakinkan telah dinilai sebagai hal yang cukup menjunjung tinggi tata krama pada masanya!

"Lha iya, kalau pada zaman Soeharto saja bisa sebebas itu, kenapa sekarang kita malah jadi rewel banget?"

Tunggu, tunggu. Jelas, saya sendiri kaget saat melihat KMS itu pertama kali. Artinya, memang tanpa sadar saya telah berada dalam suatu masa dengan ukuran kebiasaan dan norma yang berbeda. Saya telah tumbuh dalam standar nilai-nilai baru, yang ternyata tak lagi menerima sepenuhnya nilai yang berjalan secara lazim pada masa Orde Baru, sekitar 20 hingga 40 tahun lalu.

Arti lebih jauhnya, ya memang KMS itu sama sekali tidak bisa menjadi alibi pada hari ini, bahwa membuka payudara di tempat umum (meski untuk tujuan menyusui pun) merupakan sesuatu yang bisa diterima dengan nyaman-nyaman saja secara sosial.

Tahan, tahan. Jangan buru-buru menuduh saya sebagai seorang lelaki yang dengan semangat patriarki sedang mengendalikan hak kaum perempuan atas tubuh mereka. Itu kejauhan, dan membikin saya sangat ketakutan hehehe. Jangan pula mengira bahwa saya adalah bagian dari rezim moralitas yang ingin menerapkan standar skriptural sepihak atas ukuran benar-salah maupun dosa-pahala.

Yang sedang saya baca hanyalah bagaimana sebuah kesepakatan budaya, berupa konsep sopan santun, ukuran tabu dan tidak tabu, juga seperti apakah nilai-nilai Pancasila yang beradab itu, selalu bisa bergeser dari waktu ke waktu. Sebagaimana teks-teks kitab suci, teks Pancasila pun terus-menerus memerlukan interpretasi agar klop dengan situasi zaman yang terus berganti.

Menjadikan ukuran kelaziman masa lalu sebagai acuan baku jelas bukan cara berpikir yang tepat. Jika memang apa yang tumbuh di masa lalu (misalnya gambar di KMS itu) didefinisikan sebagai ukuran kesopanan bagi kita, kenapa tidak sekalian saja kita melompat ke masa yang jauh lebih ke belakang? Masa pra-kolonial, misalnya? Ingat, ketika itu perempuan-perempuan Jawa bahkan sama sekali tidak menutup dada mereka!

Jika Anda setuju, tentu Anda bakal sepakat juga jika kita bablas sekalian ke standar norma keadilan di zaman Mataram, misalnya, ketika hukuman bagi seorang punggawa yang gagal menjalankan tugas adalah tumpes kelor, dibantai habis hingga anak-istri dan cucu-cucunya. Anda mau? Hahaha.

Maka, untuk mengaplikasikan adab ala-ala Pancasila di dalam aneka regulasi, semisal UU Penyiaran, mutlak diperlukan evaluasi berkala tentang perubahan norma-norma. Katakanlah setiap satu dekade.

Nah, pertanyaan yang jauh lebih memusingkan adalah, siapa yang berhak menentukan tafsir atas standar-standar tata krama itu dalam sebuah rentang masa? Siapa? DPR? Anda percaya dengan pemahaman para anggota DPR atas budaya dan tata krama? Hmmm....