SOLID BERJANGKA | Pengorbanan Ibrahim dan Pendidikan Anak

broken image

SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Momentum haji adalah napak tilas seorang bapak bernama Ibrahim dan seorang anak bernama Ismail, yang teguh prinsipnya dalam hidup. Keduanya saling mengasihi dan menyayangi, tetapi karena perintah dari Tuhan keduanya berani mengorbankan kasih sayang sementara untuk meraih kasih sayang abadi. Kisah inspiratif Ibrahim dan Ismail menjadi refleksi sangat baik di tengah tragedi kekerasan anak yang tiada henti.

Anak-anak sebenarnya adalah korban, karena keseharian hidup mereka selalu "dikorbankan" di tengah banjir media dan teknologi informasi yang dipenuhi virus yang merusak nalar anak. Anak-anak akhirnya jatuh dalam kenistaan, yang sama sekali tidak mereka bayangkan. Orangtua dan sekolah seringkali kaget, padahal kasus kekerasan anak selalu terjadi dalam setiap waktu.

Akhir pekan lalu, bangsa kita dikejutkan oleh viral video dan foto sekolah TK di Probolinggo yang merayakan 17 Agustus dengan pawai memakai gaun hitam/burqasambil menyandang replika senjata. Ironis, anak-anak usia dini sudah dibangun persepsi kekerasan yang menyedihkan. Sebelumnya, kasus kekerasan anak PAUD juga tersebar luas di media sosial. Anak-anak menjadi korban kekerasan yang keluar dari amanat Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konteks inilah, Nabi Ibrahim sangat tepat dijadikan refleksi untuk mendesain kembali pola pendidikan yang ramah bagi anak. Pengorbanan dan perjuangan Ibrahim sangat inspiratif, bisa menjadi rujukan utama orangtua, sekolah, dan pemerintah dalam mendidik generasi Indonesia masa depan. Ibrahim bukan saja menyebarkan risalah (agama), tetapi juga memberikan strategi mendidik anak yang tepat. Terbukti, sang putra Ismail menjadi sosok anak yang teguh dengan keyakinan, berani mengorbankan dirinya untuk memenuhi tugas dari Allah, bahkan meyakinkan bapaknya, Ibrahim untuk segera menyembelihnya.

Mendidik Jiwa

Ibrahim tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam hidupnya. Ibrahim mengajarkan bahwa pendidikan haruslah wujud lahiriah dari keyakinannya. Pendidikan pertama-tama adalah mendidik jiwa manusia semakin teguh dan yakin kepada Tuhan. Ini terekam sangat jelas dalam QS Al-Baqarah ayat 132, "Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam."

Pendidikan, bagi Ibrahim, adalah mengajarkan manusia untuk hidup dan mati yang harus dijalani dengan penuh keyakinan (Islam). Tanpa keyakinan, maka akan lahir kebimbangan dan keraguan. Anak yang tumbuh dengan penuh keyakinan, maka menghadapi problem masa depan bisa mandiri tanpa ragu dan bimbang.

Ibrahim juga melihat pendidikan sebagai langkah menuju kemandirian: mampu menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Kalau sudah bisa memimpin diri sendiri, maka bisa memimpin masyarakat, bangsa, dan negara. Ini terekam sangat jelas dalam QS Al-Baqarah ayat 124, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim."

Ibrahim mendidik anak-anaknya menjadi imam yang menyeru kebaikan, menegakkan keadilan, dan tanpa lelah berjuang demi kemanusiaan. Kemudian membuat rumahnya sebagai sekolah bagi keluarganya. Karena pendidikan pertama, bagi Ibrahim, adalah keluarga. Keluarga merupakan basis paling utama dalam pendidikan, baru kemudian sekolah dan masyarakat. Makanya, dalam berbagai ayat Alquran, Ibrahim selalu memberikan wasiat kepada anak-anaknya untuk teguh menjaga prinsip dan keyakinan. Keluarga Ibrahim adalah benteng utama membangun generasi.

Pendidikan ala Ibrahim juga sangat menekankan akhlak (budi pekerti). Walaupun Ibrahim berbeda keyakinan dengan bapaknya, tetapi Ibrahim sangat menghormati bapaknya. Ibrahim tetap berdakwah kepada ayahnya, tetapi soal mengikuti atau tidak, itu sepenuhnya hidayah dari Allah. Makanya, Ibrahim tetap mendoakan bapaknya agar mendapatkan ampunan dari Allah. Ini terekam dalam QS Al-Mumtahanah ayat 4, "Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah."

Ibrahim sangat menjaga akhlak kepada orangtuanya. Ini juga ia ajarkan kepada anak-anaknya. Akhlak menjadi pegangan utama, sehingga nilai-nilai ajaran yang diajarkan bisa menancap dalam hati sang anak. Hati yang teguh dan tulus bisa membuka pencerahan batin yang sangat dinantikan. Bisa melahirkan generasi yang siap berjuang untuk bangsa dan negara.

Menyemaikan Kedamaian

Kekerasan yang melanda dunia pendidikan harus segera dihentikan. Pendidikan ala Ibrahim bisa menjadi oase bagi proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Ibrahim langsung memberikan keteladanan kepada anak-anaknya, nasihat, mengajak dialog dan berdebat, sehingga pendidikan berlangsung dengan kondusif. Semuanya dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta mencari rida Allah. Dalam diri Ibrahim selalu dipenuhi kedamaian, sehingga pendidikan yang ia jalankan menghasilkan generasi yang cinta damai. Ismail adalah karya nyata Ibrahim dalam menyemaikan kedamaian, sehingga Ismail tidak jadi disembelih, diganti dengan kambing.

Etos pendidikan yang luhur, penuh cinta dan kedamaian inilah yang mesti digerakkan di Indonesia. Kekerasan hanya menjadikan anak sebagai korban. Kalaupun terjadi kekerasan, maka merujuk kepada Ibrahim, semua bisa didiskusikan dengan baik dan penuh kekeluargaan. Apa yang dilakukan Ibrahim menegaskan bahwa pendidikan mestinya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan al-hadis serta dalam pemikiran para ulama dalam praktik sejarah umat manusia.

Etos pendidikan ala Ibrahim menjadi penggerak bangsa ini untuk menyelamatkan anak-anak bangsa dari kekerasan. Kita tanamkan kasih sayang dan cinta damai, sehingga anak bangsa menjadi oase bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.