TP SOLID GOLD BERJANGKA |

Pyrotherapy: Ketika Penyakit Malaria Sengaja Digunakan Sebagai Obat

broken image

PT SOLID GOLD BERJANGKA - Pada awal abad ke-20 sebelum ada antibiotik, dokter saat itu punya metode terapi yang tidak biasa untuk melawan infeksi penyakit sifilis. Disebut pyrotherapy dokter akan dengan sengaja memanfaatkan parasit malaria untuk menginfeksi pasien dan mengalahkan efek sifilis dari tubuhnya.

Logika di balik terapi tersebut dijelaskan oleh Olivia Gordon dari Scishow adalah karena malaria dapat menyebabkan demam tinggi berulang pada tubuh. Demam itu yang dipercaya dapat menjadi senjata untuk melawan sifilis seperti yang ditemukan oleh penggagasnya Julius Wagner-Jauregg.

“Ini adalah teknik berisiko yang digunakan untuk mengobati neurosifilis pada awal abad ke-20. Neurosifilis sendiri bisa terjadi bila kamu tidak mengobati sifilis akibat infeksi bakteri treponema pallidum,” kata Olivia Gordon

Wagner-Jauregg saat itu memerhatikan bahwa ada pasien neurosifilis yang mengalami peningkatan kondisi setelah terserang demam. Ia berpikir mungkin demam itu yang membantu pasien, namun tidak punya cara untuk mengkonfirmasinya. Akhirnya ia melakukan eksperimen kecil berbahaya tanpa sepertujuan yaitu menggunakan bakteri mulai dari tuberkulosis hingga tipes namun tidak berhasil.

Hingga pada tahun 1917 seorang prajurit dengan malaria dikirim ke kliniknya dan ia melihat ada kesempatan untuk melanjutkan eksperimen itu. Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium dan dapat menyebabkan demam tinggi berulang yang bisa berujung fatal.

Hanya saja berbeda dari sifilis yang belum ada obatnya, malaria sudah ada yaitu pil kina. Wagner-Jauregg melanjutkan eksperimen mengambil darah dari prajurit yang terinfeksi malaria itu dan menyuntikkannya ke beberapa pasien neurosifilis.

Pasien tersebut terkena malaria menjalani siklus demam tinggi sebelum diberikan pil kina. Hasilnya 6 dari 9 pasien diketahui memiliki kondisi neurosifilis yang lebih baik.

Sejak itu pyrotherapy pun menjadi prosedur umum untuk mengobati neurosifillis dengan angka keberhasilan hingga 50 persen. Namun demikian menurut Olivia angka kematian karena malarianya juga cukup tinggi mencapai 15 persen dari pasien.

“Ketika sudah ada antibiotik, sifilis jadi dapat disembuhkan tanpa harus menginfeksi orang-orang dengan penyakit berbahaya lainnya. Jadi pada titik itu pyrotherapy mulai ditinggalkan,” kata Olivia.

Meski penelitian Wagner-Jauregg tidak sesuai dengan etika medis, ia tetap mendapatkan hadiah nobel pada tahun 1927 karena temuannya.